.

Sabtu, 07 Mei 2011

Adat Istiadat Masyarakat Kaki Gunung Binaiya

Upacara adat ( ritual sirih pinang )

Salah satu juga yang menjadi adat istiadat di daerah tersebut yaitu ritual sirih pinang, ritual ini dilaksanakan ketika seorang tamu atau siapapun yang hendak mendaki gunung Binaiya. Sebelum mendaki gunung seseorang wajib diupacarakan dengan memenuhi syarat-syarat upacara yaitu adanya kain merah sepanjang 1 meter, sirih dan buah pinang serta dipimpin langsung oleh ketua adat setempat.

Ritual dimulai dengan kain merah yang digantungkan oleh ketua adat pada sebuah balok yang melintang diatas badan rumah, diikuti pembacaan mantera dalam bahasa tanah(bahasa setempat). Setelah pembacaan mantera selesai, ketua adat menempelkan kain merah diatas kepala semua peserta upacara secara bergantian dilanjutkan dengan acara makan sirih dan pinang yang diwajibkan bagi setiap peserta upacara. Upacara pun selesai dan peserta pun siap dilepas untuk melaksanakan kegiatannya.
Konon katanya upacara tersebut dilakukan guna menecegah hal-hal yang tidak diinginkan selama berkegiatan diatas gunung Binaiya.

Binaiya Gunung mahal !

Jika ada pertanyaan Gunung apa yang tertinggi di daerah Maluku ? mungkin sebagian besar orang menjawab gunung Binaiya, adalah sebuah gunung dengan ketinggian 3027 mdpl terletak di kab.maluku tengah pulau seram provinsi Maluku. Gunung yang dapat dijangkau melalui 2 jalur yaitu jalur utara dan jalur selatan. Jika kita melalui jalur utara, kita dapat menjangkau kaki gunung Binaiya selama 2 hari perjalanan dengan melewati 3 desa yaitu Desa Huaulu, Desa Roho dan terakhir Desa kanikeh yang merupakan kaki gunung Binaiya ditambah pendakian gunung selama satu setengah hari. Beda halnya dengan jalur selatan, melewati jalur ini kita juga akan mendapati 3 desa dalam perjalanan yaitu Desa Moso, Desa Manusela dan Desa Kanikeh yang merupakan pertemuan jalur utara dan jalur selatan. Gunung Binaiya termasuk kedalam kawasan Taman Nasional Manusela.
Mungkin sebagian orang yang masih kurang tahu masalah kondisi kekinian Gunung Binaiya akan heran ketika mendengar bahwa untuk mendaki Gunung Binaiya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Memang menjadi suatu hal yang tidak bisa diterima kalau untuk mendaki suatu gunung harus merogoh kocek dalam-dalam namun itulah yang terjadi saat ini. Aturan adat yang diberlakukan masyrakat kaki gunung Binaiya yaitu masyarakat Desa kanike memaksa bagi siapapun yang hendak mendaki gunung itu untuk membayar biaya-biaya yang telah ditetapkan dalam aturan adat mereka. Menurut data terakhir yang diterima dari sebuah organisasi pecinta alam bernama Matepala yang sempat mengadakan kegiatan di gunung tersebut bahwa total biaya yang mereka harus bayar sebanyak Rp.1.550.000 dengan rincian sebagai berikut :
1. Biaya porter Rp.150.000/hari
2. Biaya adat Rp.100.000
3. Biaya inap Rp.250.000
4. Isi Buku tamu Rp.250.000
5. Income Binaiya Rp.500.000

Anehnya penjelasan mengenai apa alasan dan tujuan pembayaran seperti itu tidak jelas, alasannya hanya untuk pembangunan desa tersebut dan meskipun seseorang sudah tahu jalur naik ke Gunung Binaiya namun aturan setempat mengharuskan untuk memakai jasa seorang porter untuk naik ke gunung. Belum lagi pengisian buku tamu yang diharuskan untuk dibayar dengan biaya tertentu, biaya inap yang juga diharuskan karena dilarang camp disekitar desa dengan alasan keamanan dan alasan-alasan lain yang kurang masuk diakal.
Pada akhir tahun 2010 peraturan adat ini mulai berlaku, masih kurang jelas apa yang mendasari sehingga peraturan ini lahir dan berlaku bagi siapa saja yang hendak melakukan kegiatan di lokasi tersebut. Menurut sumber dari organisasi-organisasi pecinta alam di ambon bahwa lahirnya peraturan adat tersebut dikarenakan kegiatan peliputan budaya yang dilakukan oleh sebuah media di daerah tersebut. Kegiatan media tersebut diindikasikan sebagai upaya memperkenalkan uang kepada masyarakat karena untuk melancarkan kegiatannya maka media tersebut mengeluarkan banyak uang tanpa diminta untuk mendukung kegiatan mereka.
Sebelum media naik, para pendaki yang biasanya melakukan kegiatan di gunung ini tidak menegeluarkan biaya sedikitpun untuk melakukan kegiatan, cukup dengan barter barang yang kita punya, kita sudah bisa menggunakan jasa orang setempat untuk menemani naik ke puncak gunung atau ingin membawa oleh-oleh berupa kerajinan tangan orang setempat cukup dibarter saja dengan barang seperti pakaian, rokok dll yang kita punya.

Jumat, 06 Mei 2011

JALUR UTARA

Jalur Utara menuju Gunung Binaiya 3027mdpl

* HALTE HUAULU

* DESA HUAULU (S 02057’48,3” E 129019’44,4”)

Desa pertama yang dilalui, jaraknya sekitar 5km dari HALTE HUAULU

* DESA ROHO (S 03002’46,7” E 129022’29,6” )

Desa kedua yang dilalui, jaraknya sekitar 8,5km dari desa Huaulu

* DESA KANIKEH (S 03006’32” E 129028’48" )


Desa terakhir yang dilewati, letaknya di kaki Gunung Binaiya, sekitar 15km dari Desa Roho

* GUNUNG BINAIYA (S 03010’47,3” E 129028’29,5”)


Sekitar satu setengah hari dari Desa Kanikeh

Selasa, 29 Maret 2011

Rumah abadi yang hampir runtuh

Mentari kala pagi hari tak kunjung muncul, sengatan raja siang juga enggan berbagi, pesona senja sore pun ikut menghilang menjauh dari pandanganku. Begitupun hiasan titik-titik cahaya di waktu malam tak menampakkan keelokannya. Hempasan angin yang kian menusuk kulit menembus pembuluh darah yang hanya berlapiskan kain tipis menambah tubuhku tak bias apa-apa, bergerak pun rasanya tubuh ini enggan, Cuma sesekali bernapas karena cuaca yang kurang bersahabat malam ini. Mataku hanya ke satu arah sedangkan pikiranku berkeliaran entah kemana bak ombak di pantai yang saling mengejar hingga akhirnya terbendung pada suatu masalah yang memang dari dulu membuat segala sesuatunya hitam tanpa setitik cahaya pun. Tubuhku tak bisa apa-apa lagi, mulutku kini diam tak berkata apapun seperti mesin tua yang tak ada gunanya lagi. Mengapa…… ????? aku tak tahu.
Cahaya kini tak berpihak padaku, tak mau menerangi sehingga semuanya menjadi hitam. Kemana kau ?, apa salahku ? ku mau jawabmu sekarang !!!
Tak ada lagi yang bisa kupercaya, sosok yang menjadi jalur aku melangkah sejak kecil kini hampir terhapus dari catatan perjalananku. Tidak kah kau berpikir esok atau lusa ? bagaimana aku, dia dan mereka nantinya ?
Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, aku punya beban yang begitu besar sebagai penyandang status anak sulung namun sekarang mulai berat kurasakan beban yang ada di pundakku, terkadang aku ingin menyerah, melepas dan meninggalkan semuanya, aku ingin nyaman seperti mereka, tidur nyenyak, tersenyum bahagia namun kurasa itu sangat egois menurutku. Aku adalah mahasiswa. Umurku kini 20 tahun, Ku tak mau berhenti sampai disini, dibelakang ada dua orang yang mengikutiku dan aku yang sekarang berjalan memandunya ke jalur yang seharusnya mereka lewati. Mereka adalah kedua saudaraku.
Rumah abadi tempatku bersama mereka belajar kini hampir runtuh, kedua tiang penyangga mulai rapuh namun aku tak mau menggantinya, aku masih percaya mereka walaupun kepercayaan itu tak seperti dulu lagi. Keegoisan masing-masing individu bak racun yang berdampak pada lingkungan disekitarnya. Mungkin tak menjadi masalah bagi mereka namun bagi aku dan mereka saudaraku adalah suatu catatan hitam dalam perjalanan hidup ini. Perpisahan bukan solusi, bukan yang menyelesaikan masalah, bukan juga yang akan membuat segala sesuatunya kembali cerah melainkan sesuatu yang berdampak sistemik terhadap aku dan mereka saudaraku. Kalaupun nantinya kan terjadi apa yang aku takutkan itu aku terima dan kurasa aku sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasil tidak ada yang tau, aku serahkan semuanya padaNYA kepada wahai Engkau yang aku sembah, Tuhanku. Namun disisi lain aku terkandas pada satu sosok polos yang ada dibelakangku, dia adalah saudaraku yang paling bungsu, umurnya kini 11 tahun, terlalu muda baginya berhadapan dengan persoalan dewasa seperti ini. Tak sempat merasakan kebahagiaan yang seharusnya dia daptkan di umurnya yang sekarang ini, sendiri di tengah keramaian kota kecil, menangis akibat keegoan sosok yang dipercaya dulu, semua perlahan hilang, kepercayaan itu sudah jadi abu tinggal menunggu dijemput angin hingga bekasnya pun tak Nampak sama sekali. Dan kini beranjak dari kota kecil tersebut kucoba mencari udara yang bias dia hirup sampai di penghujung malam ini tanpa air mata, tanpa gema mulut tak bertuan dan tanpa gertakan besi-besi tajam yang mengusik telinga.



E 104
JANUARY, 15th 2010
AT MABES EDELWEIS 03.00 AM

Sabtu, 07 Mei 2011

Adat Istiadat Masyarakat Kaki Gunung Binaiya

Upacara adat ( ritual sirih pinang )

Salah satu juga yang menjadi adat istiadat di daerah tersebut yaitu ritual sirih pinang, ritual ini dilaksanakan ketika seorang tamu atau siapapun yang hendak mendaki gunung Binaiya. Sebelum mendaki gunung seseorang wajib diupacarakan dengan memenuhi syarat-syarat upacara yaitu adanya kain merah sepanjang 1 meter, sirih dan buah pinang serta dipimpin langsung oleh ketua adat setempat.

Ritual dimulai dengan kain merah yang digantungkan oleh ketua adat pada sebuah balok yang melintang diatas badan rumah, diikuti pembacaan mantera dalam bahasa tanah(bahasa setempat). Setelah pembacaan mantera selesai, ketua adat menempelkan kain merah diatas kepala semua peserta upacara secara bergantian dilanjutkan dengan acara makan sirih dan pinang yang diwajibkan bagi setiap peserta upacara. Upacara pun selesai dan peserta pun siap dilepas untuk melaksanakan kegiatannya.
Konon katanya upacara tersebut dilakukan guna menecegah hal-hal yang tidak diinginkan selama berkegiatan diatas gunung Binaiya.

Binaiya Gunung mahal !

Jika ada pertanyaan Gunung apa yang tertinggi di daerah Maluku ? mungkin sebagian besar orang menjawab gunung Binaiya, adalah sebuah gunung dengan ketinggian 3027 mdpl terletak di kab.maluku tengah pulau seram provinsi Maluku. Gunung yang dapat dijangkau melalui 2 jalur yaitu jalur utara dan jalur selatan. Jika kita melalui jalur utara, kita dapat menjangkau kaki gunung Binaiya selama 2 hari perjalanan dengan melewati 3 desa yaitu Desa Huaulu, Desa Roho dan terakhir Desa kanikeh yang merupakan kaki gunung Binaiya ditambah pendakian gunung selama satu setengah hari. Beda halnya dengan jalur selatan, melewati jalur ini kita juga akan mendapati 3 desa dalam perjalanan yaitu Desa Moso, Desa Manusela dan Desa Kanikeh yang merupakan pertemuan jalur utara dan jalur selatan. Gunung Binaiya termasuk kedalam kawasan Taman Nasional Manusela.
Mungkin sebagian orang yang masih kurang tahu masalah kondisi kekinian Gunung Binaiya akan heran ketika mendengar bahwa untuk mendaki Gunung Binaiya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Memang menjadi suatu hal yang tidak bisa diterima kalau untuk mendaki suatu gunung harus merogoh kocek dalam-dalam namun itulah yang terjadi saat ini. Aturan adat yang diberlakukan masyrakat kaki gunung Binaiya yaitu masyarakat Desa kanike memaksa bagi siapapun yang hendak mendaki gunung itu untuk membayar biaya-biaya yang telah ditetapkan dalam aturan adat mereka. Menurut data terakhir yang diterima dari sebuah organisasi pecinta alam bernama Matepala yang sempat mengadakan kegiatan di gunung tersebut bahwa total biaya yang mereka harus bayar sebanyak Rp.1.550.000 dengan rincian sebagai berikut :
1. Biaya porter Rp.150.000/hari
2. Biaya adat Rp.100.000
3. Biaya inap Rp.250.000
4. Isi Buku tamu Rp.250.000
5. Income Binaiya Rp.500.000

Anehnya penjelasan mengenai apa alasan dan tujuan pembayaran seperti itu tidak jelas, alasannya hanya untuk pembangunan desa tersebut dan meskipun seseorang sudah tahu jalur naik ke Gunung Binaiya namun aturan setempat mengharuskan untuk memakai jasa seorang porter untuk naik ke gunung. Belum lagi pengisian buku tamu yang diharuskan untuk dibayar dengan biaya tertentu, biaya inap yang juga diharuskan karena dilarang camp disekitar desa dengan alasan keamanan dan alasan-alasan lain yang kurang masuk diakal.
Pada akhir tahun 2010 peraturan adat ini mulai berlaku, masih kurang jelas apa yang mendasari sehingga peraturan ini lahir dan berlaku bagi siapa saja yang hendak melakukan kegiatan di lokasi tersebut. Menurut sumber dari organisasi-organisasi pecinta alam di ambon bahwa lahirnya peraturan adat tersebut dikarenakan kegiatan peliputan budaya yang dilakukan oleh sebuah media di daerah tersebut. Kegiatan media tersebut diindikasikan sebagai upaya memperkenalkan uang kepada masyarakat karena untuk melancarkan kegiatannya maka media tersebut mengeluarkan banyak uang tanpa diminta untuk mendukung kegiatan mereka.
Sebelum media naik, para pendaki yang biasanya melakukan kegiatan di gunung ini tidak menegeluarkan biaya sedikitpun untuk melakukan kegiatan, cukup dengan barter barang yang kita punya, kita sudah bisa menggunakan jasa orang setempat untuk menemani naik ke puncak gunung atau ingin membawa oleh-oleh berupa kerajinan tangan orang setempat cukup dibarter saja dengan barang seperti pakaian, rokok dll yang kita punya.

Jumat, 06 Mei 2011

JALUR UTARA

Jalur Utara menuju Gunung Binaiya 3027mdpl

* HALTE HUAULU

* DESA HUAULU (S 02057’48,3” E 129019’44,4”)

Desa pertama yang dilalui, jaraknya sekitar 5km dari HALTE HUAULU

* DESA ROHO (S 03002’46,7” E 129022’29,6” )

Desa kedua yang dilalui, jaraknya sekitar 8,5km dari desa Huaulu

* DESA KANIKEH (S 03006’32” E 129028’48" )


Desa terakhir yang dilewati, letaknya di kaki Gunung Binaiya, sekitar 15km dari Desa Roho

* GUNUNG BINAIYA (S 03010’47,3” E 129028’29,5”)


Sekitar satu setengah hari dari Desa Kanikeh

Selasa, 29 Maret 2011

Rumah abadi yang hampir runtuh

Mentari kala pagi hari tak kunjung muncul, sengatan raja siang juga enggan berbagi, pesona senja sore pun ikut menghilang menjauh dari pandanganku. Begitupun hiasan titik-titik cahaya di waktu malam tak menampakkan keelokannya. Hempasan angin yang kian menusuk kulit menembus pembuluh darah yang hanya berlapiskan kain tipis menambah tubuhku tak bias apa-apa, bergerak pun rasanya tubuh ini enggan, Cuma sesekali bernapas karena cuaca yang kurang bersahabat malam ini. Mataku hanya ke satu arah sedangkan pikiranku berkeliaran entah kemana bak ombak di pantai yang saling mengejar hingga akhirnya terbendung pada suatu masalah yang memang dari dulu membuat segala sesuatunya hitam tanpa setitik cahaya pun. Tubuhku tak bisa apa-apa lagi, mulutku kini diam tak berkata apapun seperti mesin tua yang tak ada gunanya lagi. Mengapa…… ????? aku tak tahu.
Cahaya kini tak berpihak padaku, tak mau menerangi sehingga semuanya menjadi hitam. Kemana kau ?, apa salahku ? ku mau jawabmu sekarang !!!
Tak ada lagi yang bisa kupercaya, sosok yang menjadi jalur aku melangkah sejak kecil kini hampir terhapus dari catatan perjalananku. Tidak kah kau berpikir esok atau lusa ? bagaimana aku, dia dan mereka nantinya ?
Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, aku punya beban yang begitu besar sebagai penyandang status anak sulung namun sekarang mulai berat kurasakan beban yang ada di pundakku, terkadang aku ingin menyerah, melepas dan meninggalkan semuanya, aku ingin nyaman seperti mereka, tidur nyenyak, tersenyum bahagia namun kurasa itu sangat egois menurutku. Aku adalah mahasiswa. Umurku kini 20 tahun, Ku tak mau berhenti sampai disini, dibelakang ada dua orang yang mengikutiku dan aku yang sekarang berjalan memandunya ke jalur yang seharusnya mereka lewati. Mereka adalah kedua saudaraku.
Rumah abadi tempatku bersama mereka belajar kini hampir runtuh, kedua tiang penyangga mulai rapuh namun aku tak mau menggantinya, aku masih percaya mereka walaupun kepercayaan itu tak seperti dulu lagi. Keegoisan masing-masing individu bak racun yang berdampak pada lingkungan disekitarnya. Mungkin tak menjadi masalah bagi mereka namun bagi aku dan mereka saudaraku adalah suatu catatan hitam dalam perjalanan hidup ini. Perpisahan bukan solusi, bukan yang menyelesaikan masalah, bukan juga yang akan membuat segala sesuatunya kembali cerah melainkan sesuatu yang berdampak sistemik terhadap aku dan mereka saudaraku. Kalaupun nantinya kan terjadi apa yang aku takutkan itu aku terima dan kurasa aku sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasil tidak ada yang tau, aku serahkan semuanya padaNYA kepada wahai Engkau yang aku sembah, Tuhanku. Namun disisi lain aku terkandas pada satu sosok polos yang ada dibelakangku, dia adalah saudaraku yang paling bungsu, umurnya kini 11 tahun, terlalu muda baginya berhadapan dengan persoalan dewasa seperti ini. Tak sempat merasakan kebahagiaan yang seharusnya dia daptkan di umurnya yang sekarang ini, sendiri di tengah keramaian kota kecil, menangis akibat keegoan sosok yang dipercaya dulu, semua perlahan hilang, kepercayaan itu sudah jadi abu tinggal menunggu dijemput angin hingga bekasnya pun tak Nampak sama sekali. Dan kini beranjak dari kota kecil tersebut kucoba mencari udara yang bias dia hirup sampai di penghujung malam ini tanpa air mata, tanpa gema mulut tak bertuan dan tanpa gertakan besi-besi tajam yang mengusik telinga.



E 104
JANUARY, 15th 2010
AT MABES EDELWEIS 03.00 AM