.

Selasa, 29 Maret 2011

Rumah abadi yang hampir runtuh

Mentari kala pagi hari tak kunjung muncul, sengatan raja siang juga enggan berbagi, pesona senja sore pun ikut menghilang menjauh dari pandanganku. Begitupun hiasan titik-titik cahaya di waktu malam tak menampakkan keelokannya. Hempasan angin yang kian menusuk kulit menembus pembuluh darah yang hanya berlapiskan kain tipis menambah tubuhku tak bias apa-apa, bergerak pun rasanya tubuh ini enggan, Cuma sesekali bernapas karena cuaca yang kurang bersahabat malam ini. Mataku hanya ke satu arah sedangkan pikiranku berkeliaran entah kemana bak ombak di pantai yang saling mengejar hingga akhirnya terbendung pada suatu masalah yang memang dari dulu membuat segala sesuatunya hitam tanpa setitik cahaya pun. Tubuhku tak bisa apa-apa lagi, mulutku kini diam tak berkata apapun seperti mesin tua yang tak ada gunanya lagi. Mengapa…… ????? aku tak tahu.
Cahaya kini tak berpihak padaku, tak mau menerangi sehingga semuanya menjadi hitam. Kemana kau ?, apa salahku ? ku mau jawabmu sekarang !!!
Tak ada lagi yang bisa kupercaya, sosok yang menjadi jalur aku melangkah sejak kecil kini hampir terhapus dari catatan perjalananku. Tidak kah kau berpikir esok atau lusa ? bagaimana aku, dia dan mereka nantinya ?
Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, aku punya beban yang begitu besar sebagai penyandang status anak sulung namun sekarang mulai berat kurasakan beban yang ada di pundakku, terkadang aku ingin menyerah, melepas dan meninggalkan semuanya, aku ingin nyaman seperti mereka, tidur nyenyak, tersenyum bahagia namun kurasa itu sangat egois menurutku. Aku adalah mahasiswa. Umurku kini 20 tahun, Ku tak mau berhenti sampai disini, dibelakang ada dua orang yang mengikutiku dan aku yang sekarang berjalan memandunya ke jalur yang seharusnya mereka lewati. Mereka adalah kedua saudaraku.
Rumah abadi tempatku bersama mereka belajar kini hampir runtuh, kedua tiang penyangga mulai rapuh namun aku tak mau menggantinya, aku masih percaya mereka walaupun kepercayaan itu tak seperti dulu lagi. Keegoisan masing-masing individu bak racun yang berdampak pada lingkungan disekitarnya. Mungkin tak menjadi masalah bagi mereka namun bagi aku dan mereka saudaraku adalah suatu catatan hitam dalam perjalanan hidup ini. Perpisahan bukan solusi, bukan yang menyelesaikan masalah, bukan juga yang akan membuat segala sesuatunya kembali cerah melainkan sesuatu yang berdampak sistemik terhadap aku dan mereka saudaraku. Kalaupun nantinya kan terjadi apa yang aku takutkan itu aku terima dan kurasa aku sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasil tidak ada yang tau, aku serahkan semuanya padaNYA kepada wahai Engkau yang aku sembah, Tuhanku. Namun disisi lain aku terkandas pada satu sosok polos yang ada dibelakangku, dia adalah saudaraku yang paling bungsu, umurnya kini 11 tahun, terlalu muda baginya berhadapan dengan persoalan dewasa seperti ini. Tak sempat merasakan kebahagiaan yang seharusnya dia daptkan di umurnya yang sekarang ini, sendiri di tengah keramaian kota kecil, menangis akibat keegoan sosok yang dipercaya dulu, semua perlahan hilang, kepercayaan itu sudah jadi abu tinggal menunggu dijemput angin hingga bekasnya pun tak Nampak sama sekali. Dan kini beranjak dari kota kecil tersebut kucoba mencari udara yang bias dia hirup sampai di penghujung malam ini tanpa air mata, tanpa gema mulut tak bertuan dan tanpa gertakan besi-besi tajam yang mengusik telinga.



E 104
JANUARY, 15th 2010
AT MABES EDELWEIS 03.00 AM

Selasa, 29 Maret 2011

Rumah abadi yang hampir runtuh

Mentari kala pagi hari tak kunjung muncul, sengatan raja siang juga enggan berbagi, pesona senja sore pun ikut menghilang menjauh dari pandanganku. Begitupun hiasan titik-titik cahaya di waktu malam tak menampakkan keelokannya. Hempasan angin yang kian menusuk kulit menembus pembuluh darah yang hanya berlapiskan kain tipis menambah tubuhku tak bias apa-apa, bergerak pun rasanya tubuh ini enggan, Cuma sesekali bernapas karena cuaca yang kurang bersahabat malam ini. Mataku hanya ke satu arah sedangkan pikiranku berkeliaran entah kemana bak ombak di pantai yang saling mengejar hingga akhirnya terbendung pada suatu masalah yang memang dari dulu membuat segala sesuatunya hitam tanpa setitik cahaya pun. Tubuhku tak bisa apa-apa lagi, mulutku kini diam tak berkata apapun seperti mesin tua yang tak ada gunanya lagi. Mengapa…… ????? aku tak tahu.
Cahaya kini tak berpihak padaku, tak mau menerangi sehingga semuanya menjadi hitam. Kemana kau ?, apa salahku ? ku mau jawabmu sekarang !!!
Tak ada lagi yang bisa kupercaya, sosok yang menjadi jalur aku melangkah sejak kecil kini hampir terhapus dari catatan perjalananku. Tidak kah kau berpikir esok atau lusa ? bagaimana aku, dia dan mereka nantinya ?
Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, aku punya beban yang begitu besar sebagai penyandang status anak sulung namun sekarang mulai berat kurasakan beban yang ada di pundakku, terkadang aku ingin menyerah, melepas dan meninggalkan semuanya, aku ingin nyaman seperti mereka, tidur nyenyak, tersenyum bahagia namun kurasa itu sangat egois menurutku. Aku adalah mahasiswa. Umurku kini 20 tahun, Ku tak mau berhenti sampai disini, dibelakang ada dua orang yang mengikutiku dan aku yang sekarang berjalan memandunya ke jalur yang seharusnya mereka lewati. Mereka adalah kedua saudaraku.
Rumah abadi tempatku bersama mereka belajar kini hampir runtuh, kedua tiang penyangga mulai rapuh namun aku tak mau menggantinya, aku masih percaya mereka walaupun kepercayaan itu tak seperti dulu lagi. Keegoisan masing-masing individu bak racun yang berdampak pada lingkungan disekitarnya. Mungkin tak menjadi masalah bagi mereka namun bagi aku dan mereka saudaraku adalah suatu catatan hitam dalam perjalanan hidup ini. Perpisahan bukan solusi, bukan yang menyelesaikan masalah, bukan juga yang akan membuat segala sesuatunya kembali cerah melainkan sesuatu yang berdampak sistemik terhadap aku dan mereka saudaraku. Kalaupun nantinya kan terjadi apa yang aku takutkan itu aku terima dan kurasa aku sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasil tidak ada yang tau, aku serahkan semuanya padaNYA kepada wahai Engkau yang aku sembah, Tuhanku. Namun disisi lain aku terkandas pada satu sosok polos yang ada dibelakangku, dia adalah saudaraku yang paling bungsu, umurnya kini 11 tahun, terlalu muda baginya berhadapan dengan persoalan dewasa seperti ini. Tak sempat merasakan kebahagiaan yang seharusnya dia daptkan di umurnya yang sekarang ini, sendiri di tengah keramaian kota kecil, menangis akibat keegoan sosok yang dipercaya dulu, semua perlahan hilang, kepercayaan itu sudah jadi abu tinggal menunggu dijemput angin hingga bekasnya pun tak Nampak sama sekali. Dan kini beranjak dari kota kecil tersebut kucoba mencari udara yang bias dia hirup sampai di penghujung malam ini tanpa air mata, tanpa gema mulut tak bertuan dan tanpa gertakan besi-besi tajam yang mengusik telinga.



E 104
JANUARY, 15th 2010
AT MABES EDELWEIS 03.00 AM